Dapodikdas

Jumat, 03 Februari 2012

Berita SM3T

Laporan Investigasi Bagian I

02/03/2012
IKA DESYANA, Alumni Unesa Jurusan Matematika, Peserta Program SM3T di SMP Satu Atap Kakaha, Kec. Ngadu Ngala, Kab. Sumba Timur, NTT, sedang memberikan pelajaran matematika sambil menggendong bocah yang tidak lain adalah putra dari seorang guru di SMP itu.
IKA DESYANA, Alumni Unesa Jurusan Matematika, Peserta Program SM3T di SMP Satu Atap Kakaha, Kec. Ngadu Ngala, Kab. Sumba Timur, NTT, sedang memberikan pelajaran matematika sambil menggendong bocah yang tidak lain adalah putra dari seorang guru di SMP itu.

SEJAK akhir tahun 2011 lalu, sekitar tiga ribu sarjana pendidikan, melalui Program Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal (SM3T) telah diterjunkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengajar di daerah 3T. Medan berat, terjal, serta tidak berlistrik adalah bagian yang dihadapi mereka. Universitas Negeri Surabaya (Unesa) merekrut 241 peserta yang ditempatkan di 21 Kecamatan dari 22 Kecamatan di Waingapu, Sumba Timur, NTT. Berikut tulisan Sukemi, yang diturunkan secara berseri setelah ikut dalam Monitoring dan Evaluasi bersama Unesa.
SEBANYAK 241 peserta Program Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal (SM3T) yang dikoordinasikan oleh Universitas Negeri Surabaya (Unesa) ditempatkan di 21 Kecamatan dari 22 Kecamatan di Waingapu, Sumba Timur, NTT.
Kehadiran 241 sarjana pendidikan itu bak pelita di tengah kegelapan. Mereka menjadi penerang sekaligus penyemangat baru, baik bagi siswa maupun guru yang sudah ada sebelumnya. Beberapa tokoh masyarakat pun menyambutnya dengan gembira.
Kesan ini begitu terlihat dari cara mereka menerima dan memperlakukan para guru itu. Menyiapkan rumah atau asrama untuk tinggal guru, mereka lakukan dengan senang. Bahkan mereka memberikan ternaknya hidup-hidup kepada para guru untuk dipotong dan dikonsumsi.
“Ini bagian dari penghormatan kami. Karena berbeda keyakinan, kami memberikannya hidup-hidup agar bisa disembelih sendiri dan halal untuk dimakan,” kata Camat Ngadu Ngala, Drs. Dominggus O. Kaborang.
Itupulalah yang diakui Nurmaslika, lulusan PGSD Unesa, yang mengajar di SD Masehi Mairunu, Kec. Ngadu Ngala. Ia kini sudah pandai menyembelih ayam. “Bagaimana tidak pandai, dalam sehari, untuk menggelar pesta menyambut kehadiran saya, saya diberi empat ekor ayam untuk disembelih, agar bisa dimakan bersama-sama. Awalnya takut juga, tapi sekarang sudah terbiasa,” kata Ika, panggilan akrab Nurmaslika, asal Tanggulangin, Sidoarjo.  
Meski berbeda keyakinan dengan para guru Program SM3T, pergaulan masyarakat di sana tidak terlihat canggung. Mereka justru sangat berterima kasih dengan telah ditempatkannya para guru SM3T di daerahnya. Bahkan mereka berharap program ini berkelanjutan dan tidak bersifat instan atau sementara.
“Kami menyambut baik dan program ini telah mengisi kekurangan guru yang ada di daerah kami. Karena itu kami berharap bisa berlanjut dan jika mereka hanya ditempatkan selama setahun, mohon jangan ditarik dulu sebelum ada penggantinya,” kata Dominggus.
Pernyataan Dominggus sebagai Camat di Ngadu Ngala, juga dikemukakan oleh Camat Karera, Umbu Ngadu Ndamu SH, M.Si, yang berharap segera bisa dibangun SMK Pertanian dan Kelautan di daerahnya.
Hal sama juga disampaikan oleh Kepala SMP Satu Atap Kakaha, Dominggus Ndamung Pinddu Jawa, yang di sekolahnya menerima empat guru Program SM3T, dua diantaranya dari Universitas Negeri Makassar.

Ia merasakan betapa gairah 207 siswanya meningkat tajam setelah kedatangan para guru SM3T. “Para siswa senang kedatangan guru SM3T, karena metode dan cara mengajarnya berbeda. Kami juga terbantu, karena selama ini kami tidak punya guru bidang studi IPA dan Matematika,” katanya.
‘Bukit Sinyal dan HP SM3T’
Bagimana peserta Program SM3T menjalin komunikasi di daerah terpencil itu? Untuk berkomunikasi baik dengan sesama peserta maupun keluarga di Pulau Jawa, di kalangan mereka dikenal dua istilah, “bukit sinyal” dan “HP SM3T”.
Dua istilah itu sangat populer diantara peserta SM3T, karena memang hanya pada dataran-dataran tinggi atau bukit tertentu saja handphone (HP) bisa mendapatkan sinyal. Selebihnya tidak bisa digunakan, kecuali untuk lampu penerangan atau senter.
Demikian juga dengan pesawat HP, hanya HP berfitur sederhana saja yang bisa dimanfaatkan di sana. Sehingga HP yang memiliki fitur lampu senter itulah yang disukai peserta SM3T, dan populerlah istilah “HP SM3T”, karena jika HP mereka tidak bisa digunakan untuk komunikasi, malam atau pagi buta, bisa dimanfaatkan untuk membantu penerangan, menuju sumber air yang relatif jauh dari rumah dengan kondisi jalan becek dan gelap, sambil sesekali melintas ajing atau babi milik penduduk.
Penggunan HP pun sangat terbatas jika sudah berada di “bukit sinyal”. HP tidak bisa dalam genggaman sebagaimana namanya, tapi harus dilepas dari gengaman tangan.
Itu sebabnya sebelum digunakan untuk berkomunikasi nomor HP yang akan dituju ditulis terlebih dahulu dan menggunakan fitur loudspeaker, ketika sinyal sudah “tertangkap” tekan fitur sambung, lalu berbicara. Demikian halnya jika mau mengirim pesan pendek (SMS), terlebih dahulu diketik pesannya, kemudian tulis nomor yang akan dituju, setelah sinyal “tertangkap” baru kemudian kirim.
“Kalau HP dalam gengaman kadang-kadang terputus pembicaraan, sehingga kami lebih suka meletakkannya di atas rumput, lalu berbicara dengan loudspeaker,” kata Dati Dwikurniati, asal Ponorogo, yang mengajar di SD Inpres Kakaha. (Bersambung)

1 komentar: