Isi:
Oleh: Ibnu Hamad
Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemdikbud
Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemdikbud
Masih
ingat mobil ESEMKA? Tentu saja. Kehadirannya telah menarik perhatian
berbagai pihak. Bukan hanya hanya di dalam negeri, tetapi juga menembus
batas negara. Tidak percaya? Coba buka arsip-arsip di dunia dotcom. Beberapa fakta berikut akan Anda temukan.
Vivanews memberitakan
(Rabu 11 Januari 2012), Duta Besar AS melalui email mengundang SMK
Negeri 2 Surakarta, untuk hadir dalam acara pertemuan asosiasi
kewirausahaan Amerika di Kedutaan Besar AS, Jakarta. Tetapi, menurut Dwi
Budhi Martono, salah seorang guru di SMK ini, mereka tidak dapat datang
pada tanggal saat acara dilaksanakan 10 Januari 2012 karena pada yang
saat bersamaan ada kegiatan mobil Esemka.
Masih
dari SMK 2 Surakarta. Humas SMK 2 Surakarta, Kasmadi, mengakui sejak
berita keberhasilan siswa SMK Solo muncul, wartawan Malaysia dan
Australia mewawancararinya. Bahkan jaringan Aljazeera, kata Kasmadi,
mewawancarai warga masyarakat yang ingin membeli mobil Esemka (Vivanews,
12 Januari 2012).
Dari Solo juga diberitakan, Duta Besar Jerman, Norbet Baas
mengunjungi pabrik mobil Esemka di Solo Tekno Park (STP) pada tanggal
28 Januari 2012. Diberitakan, sebelumnya sang Dubes mengakui telah
banyak mengetahui Esemka melalui pemberitaan di media massa maupun
laporan dari stafnya, namun ingin melihatnya di lapangan (Kompas.com, 29
Januari 2012).
Penulis
selaku pengelola Pusat Informasi dan Humas Kemdikbud punya pengalaman
diwawancarai wartawati NHK Jepang dari Tokyo. Wartawati, yang alumni
Unpad Bandung ini, mewawancarai saya seputar pengembangan SMK di
Indonesia, termasuk perbandingannya dengan SMA. Saya menduga kuat,
wawancara ini dilakukan atas perintah redakturnya di NHK guna memenuhi
keingin-tahuan warga Jepang, dan karenanya wawancara tersebut akan
disiarkan – tentu saja kalau memang disiarkan— dalam bahasa Jepang.
Ancaman untuk Negara Maju?
Dengan fakta-fakta di atas, tak berlebihan jika dikatakan bahwa negara-negara kampium teknologi itu berkepentingan dengan SMK. Pertanyaannya,
apakah negara-negara penguasa teknologi itu benar-benar tertarik?
Apakah sekadar basa-basi diplomatik para duta besar dan kepentingan
berita dari medianya?
Perlu disadari bahwa negara-negara maju secara teknologi itu cenderung berpikir jauh dan untuk jangka panjang. Mereka berpikir
bahwa kemampuan siswa-siswa SMK itu merupakan bibit kemajuan yang jika
dipelihara dan dipupuk dengan baik akan menjadi kekuatan yang dahsyat.
Mereka
tidak mengabaikan begitu saja kemampuan merakit mobil, laptop, pesawat,
dan lain-lain teknologi dari para siswa SMK. Setelah bisa merakit, akan
dilanjutkan dengan kemampuan membuat komponen sendiri. Setelah itu
bukan mustahil akan muncul ide untuk melakukan inovasi teknologi dalam
berbagai bidang.
Mereka memandangnya sebagai ancaman?
Besar kemungkinan, paling tidak secara ekonomi. Mereka sudah mafhum
bahwa Indonesia adalah pasar yang sangat potensial. Dengan jumlah
penduduk yang banyak dan wilayah yang luas, Indonesia merupakan pasar
yang bagus untuk memasarkan produk-produk mereka sejak alat dapur hingga
pesawat tempu, muali dari paku ukir hingga teknologi nuklir. Kalau
bangsa Indonesia bisa memenuhi sendiri sebagian besar (semua) kebutuhan
akan mobil, laptop, pesawat, dan lain sebagainya, tentu saja akan
mengancam pasar mereka di dalam negeri Indonesia.
Lebih
dari itu, secara geopolitik, jika Indonesia kuat secara teknologi maka
akan menjadi kekuatan yang patut diperhitungkan di kawasan. Cobalah,
pandang lagi peta Indonesia di kawasan ASEAN. Tampaklah di sana
sebagian besar wilayah ASEAN adalah Indonesia. Karena itu, sekiranya
Indonesia kuat dalam pembuatan mobil, motor, pesawat, kapal laut,
teknologi informasi dan komunikasi, alat pertanian, mesin-mesin pabrik,
dan beragam teknologi lainnya, maka akan menjadi kekuatan yang
signifikan di wilayah ini, bahkan di kawasan Asia Pasifik.
Dalam kerangka ini
pula, dapat dipahami suatu kenyataan: negara-negara maju terlanjur
pelit dalam transfer teknologi. Jangankan teknologi yang superstrategis
seperti teknologi nuklir, terknologi peralatan rumah tangga saja (: tv,
kulkas, mesin cuci, rice cooker, dlsb) mereka sudah pelit.
Oleh
sebab itulah, bagi negara maju yang menempatkan kebangkitan teknologi
Indonesia sebagai ancaman, maka sejak awal mereka berkeinginan
mengendalikan kemajuan SMK ini. Dengan mengawalnya sejak dini, mereka
paling tidak menjadi tahu gerak-gerik kemajuan Indonesia dari waktu ke
waktu. Lebih dari itu mereka ingin mempengaruhi, kalau tidak bisa
mengontrolnya sama sekali, kemajuan Indonesia sesuai kehendak mereka.
Lain
halnya dengan negara-negara yang menempatkan kebangkitan teknologi
Indonesia sebagai peluang kerjasama, maka mereka akan mencari peluang
untuk bermitra. Sekalipun, semangat yang satu ini masih sesuatu yang
sering kita impikan, sekecil apapun peluangnya patut dicermati oleh para
pihak yang terkait dengan pengelolaan SMK dengan tetap mengutamakan
kepentingan nasional kita.
Kunci Keberhasilan: Desakralisasi Teknologi
Tepatnya, apa
yang dilakukan peserta didik dan tenaga kependidikan SMK-SMK sehingga
bisa menarik publik termasuk negara asing? Apa rahasianya mereka mampu
membuat mobil, kapal laut, pesawat terbang, laptop, alat pertanian,
katering, kecantikan dan lain sebagainya? Apa yang mereka kerjakan?
Jawabnya, meminjam istilah Mendikbud, karena secara praktis mereka
melakukan desakralisasi teknologi. Peserta didik dan tenaga
kependidikan di SMK-SMK telah berhasil menempatkan teknologi sebagai
barang yang tidak sakral lagi, melainkan menjadikan teknologi sebagi
sesuatu yang dapat diakses, disentuh, dipelajari, diutak-atik, dan
direplikasi, dan produksi.
Itulah
kuncinya. Melalui desakralisasi ini, dapat dikatakan semua pihak yang
terkait dengan SMK menjadikan teknologi sebagai sesuatu yang biasa, yang
bisa dipelajari dan dikuasai. Mereka berhasil menciptkan budaya
teknologi dengan cara membiasakan para siswa dan gurunya berinteraksi
dengan teknologi.
Hal
penting lain berkaitan dengan desakralisasi teknologi ini adalah
berkurangnya (Insya Allah kedepan akan menghilangkan) anggapan
seolah-olah teknologi hanya milik bangsa-bangsa maju, sedangkan bangsa
yang berkembang hanya boleh mengekor saja. Selanjutnya, dari sana akan
timbul pula semangat untuk berdiri sama tinggi dengan negara-negara lain
yang memacu kemajuan bangsanya.
Kabar gembiranya, terkait
dengan desakralisasi teknologi melalui SMK ini sudah sejak beberapa
tahun terkahir ini Kemdikbud terus menambah jumlah SMK. Pada tahun
2008/2009 jumlahnya adalah 7.592 sekolah; masih kalah jauh dari SMA yang
berjumlah 10.762 sekolah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar